Sementara AI semakin banyak digunakan baik dalam pengaturan pribadi maupun profesional, banyak pengguna masih meragukan keandalannya. Bagi para pemimpin bisnis, mengintegrasikan AI sangat penting untuk mempertahankan daya saing, karena dapat meningkatkan produktivitas dan menciptakan aliran pendapatan baru. Namun, tantangannya terletak pada mengatasi defisit kepercayaan yang ada di antara karyawan dan pelanggan terkait alat AI.
Di UEA, sebuah negara yang dikenal karena adopsi teknologi yang cepat, laporan KPMG mengungkapkan bahwa 97% individu menggunakan AI dalam pekerjaan atau kehidupan pribadi mereka. Meskipun keterlibatan yang tinggi ini, ada kekhawatiran signifikan tentang kepercayaan; 84% responden menyatakan bahwa mereka hanya akan mempercayai sistem AI jika mereka dijamin penggunaannya yang etis, dan 57% meminta regulasi yang lebih ketat untuk memastikan keselamatan.
Kesenjangan kepercayaan tidak terbatas pada UEA. Di Inggris, hanya 42% orang yang mengungkapkan kepercayaan pada AI, meskipun 57% menyetujui penggunaannya. Yang mengkhawatirkan, 80% populasi percaya bahwa regulasi yang lebih kuat diperlukan untuk penerapan AI yang bertanggung jawab. Data ini menyoroti adanya ketidakcocokan antara prevalensi teknologi AI dan kepercayaan serta pemahaman publik tentangnya.
Para pemimpin bisnis harus merasa khawatir dengan statistik ini, karena 78% responden di Inggris khawatir tentang potensi konsekuensi negatif dari AI, sementara hanya 10% yang menyadari regulasi yang ada. Permintaan untuk pengawasan yang lebih kuat menunjukkan kurangnya kepercayaan pada tata kelola saat ini, yang menimbulkan risiko bagi perusahaan yang memperkenalkan solusi AI dalam lingkungan skeptis.
Menurut Lei Gao, CTO di SleekFlow, fokus telah bergeser dari sekadar mengadopsi AI menjadi memastikan akuntabilitas. Pengguna lebih cenderung mempercayai AI ketika beroperasi secara transparan dan dapat diprediksi. Untuk membangun kepercayaan, perusahaan harus memprioritaskan keterbukaan, konsistensi, dan pengawasan manusia dalam interaksi AI. Lei menyarankan agar para pemimpin menerapkan pedoman yang jelas, terlepas dari alat AI yang digunakan, untuk membangun kepercayaan dalam sistem mereka. Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa AI dapat melayani orang dengan efektif, bukan hanya meningkatkan metrik kinerja.